Halo dear!
waduh sudah 6 bulan ya ga ada isi blog review makeup and whatever it is.
So hard to sorry i say.
Terlalu banyak hal yg diurus sampai-sampai gue lupa nulis blog yang which is passion gue yang terkadang bisa menjadikan "healing" ketika pikiran mampet.
Sebenarnya setahun kemarin sibuk dalam hal pekerjaan. Gue larut dalam sebuah pekerjaan yang hectic, menyenangkan, namun kadang challenging.
Kalau gue boleh share sedikit, nikmatnya kita berganti perusahaan sudah pasti GAJI. Ga mungkin dong perusahaan baru downgrade gaji? kurang ajar itu namanya. Tapi sempet ga berpikir bahwa semakin naik gaji kita, semakin tinggi ekspektasi manajemen terhadap kita. Jd kadang beban itu berbanding lurus dengan gaji kita yang XX.
Meningkatkan diri dengan menggapai ekspektasi orang juga ga mudah karena manajemen akan bertanya dia dari perusahaan mana sebelumnya?
"Bank Mandiri"
dia lulusan kuliah mana? "ITS Surabaya"
dia lulusan sekolah mana "SMA 5 Negeri SBY"
SMP nya? SD nya? blablabla
Nama-nama besar dari tempat kita dididik itu menjadikan ekspektasi perusahaan menjadi tinggi.
Oh daridulu sekolah negeri di tempat nomer satu ya di kota besar, harusnya disini bisa membuat perubahan.
Nah
Nahh
NAH!
Kalau kita adalah orang yang sangat kompeten, maka kita bisa melewati itu.
Makanya gue bilang, pindah kerja bukan sekedar gaji, tapi seberapa kamu bisa meningkatkan potensimu dari ekspektasi managemen supaya kamu dianggap ADA.
Kalau gue kebetulan bukan orang yang suka bekerja hanya demi uang semata, tapi juga aktualisasi diri mumpung masih ada waktu dan kesempatan. Daripada kita di rumah dan bergumul dg kegiatan yg itu itu saja.
Oh ya soal itu-itu saja, fyi, itu juga menjadi salah satu alasan pindah perusahaan. Ada kala kita jenuh di perusahaan sebelumnya sehingga kita butuh angin segar. Tapi tentu saja, itu bukan alasan utama yg mendasari seseorang resign.
Belum juga kehidupan pernikahan. Menikah dg orang baru dan kerjaan baru, level adaptasinya harus meningkat.
Btw i was thinking that i'm not a married person 5 years ago. Iya, karena banyak cerita di sekeliling dari sahabat-sahabat yang broken home. Membuat gue jadi belajar kenapa seorang anak harus merasakan broken home.
Kadang bukan salah orang tuanya. Kadang simple alasan ga cocok.
But literally, setelah gue ada di fase ini. Gue sendiri merasakan. Married is hard.
Adaptasi dua manusia yang masih belum terlalu lama. Ada kala pacaran bertahun-tahun itu baik sehingga ketika menikah kita tidak perlu terlalu susah berkomunikasi, bisa menyampaikan pendapat dengan baik, tidak ada hujatan. Tapi kadang kala pacaran lama juga diartikan sebagai,"ngapain jagain jodoh orang?" hahaha. Karena dari beberapa kisah, mereka toh not being married.
Menikah blm mengenal lama juga kadang baik, karena bisa berkomitmen dari awal seperti apa. Sehingga pintu pernikahan sudah pasti ada di depan kita, apa yang kita jalani akan sesuai dg akhir. Hanya negatifnya, kedua insan blm saling mengenal dan belum tentu cocok sebenarnya dan bisa jadi dipaksakan karena komitmen.
Asal baik, sudah, menikah.
Bicara agama? iya itu memang tiang pernikahan. Tapi di usia muda blm semua orang bisa full beribadah selain 5 waktu yakni tahajud even solat dhuha untuk menyegarkan pikiran dan mendamaikan hati.
Meski memang saya yakini kedamaian hati membuat kita lebih jarang memikirkan hal-hal negatif yg menyebabkan perkara.
Kembali lagi, i was thinking that i'm not a married person. Kurasa aku ga akan bisa menerima maaf seseorang semudah membalikkan telapak tangan. Kurasa yang indah-indah di awal itu akan menjadi bumerang di akhir.
Tapi memang,
Married is hard. Really definitely HARD.
Ketika pasangan bicara tidak sepantasnya dan tidak minta maaf? Wah hati sakit sekali.
Hati lebih sakit ketika menjadi istri daripada menjadi pacar.
Kenapa lebih sakit ketika menjadi istri?
Iya karena kita banyak didalami ilmu agama ketika akad, bahwa istri harus melayani suami dan suami harus membahagiakan istri.
Tapi ketika kata-kata menjadi tidak membahagiakan, maka sebagai perempuan kita merasa tidak dimanusiakan. Dan bagaimana seorang wanita bisa melayani jika merasa tidak dimanusiakan?
Kalau jadi pacar ketika kita merasa kecewa, kita bisa move, bisa broke up kapan saja, lalu selfie-selfie sama cowok ganteng di kubikel sebelah.
But, setelah menikah? it's not even mature dude. Menikah hanya untuk orang-orang yang dewasa.
Yang bisa saling menjaga perasaan pasangannya. Yang hati-hati dalam berucap. Yang berikrar pada kesetiaan bersama.
Literally, marriage is not for a children who still being angry meanwhile everythings not goin OK.
Jadi sama seperti pekerjaan baru, managemen akan berekspektasi kamu orang yang Wawww... begitu pula pasangan baru akan melakukan hal yang sama.
EKSPEKTASI itu BUMERANG.
Diluar sifat lelaki yang kalau masih pacaran baik-baik ketika menikah turun level of love nya ya. Yg dulu dijemput di gerbang depan, sekarang must be jalan sendiri ke depan jauh. Hal-hal seperti itu yang kita ga akan sangka dalam kehidupan pernikahan.
Karena itu kalau mengatakan sudah siap akan menikah, bersiaplah pasang ekspektasi. Mungkin pasangan kamu akan downgrade sikapnya ke kamu. Karena ini bahtera rumah tangga. Bahtera as a kapal. Namanya kapal akan berombak naik turun, kalau kamu menyerah ya tenggelam.
Kalau pekerjaan di kantor memasang ekspektasi wajar karena kamu digaji. Kalau pernikahan memasang ekspektasi ga wajar karena kalian tidak digaji, tapi harus melayani.
Oleh karena itu maintain ekspektasi. Karena rusaknya ekspektasi akan menghilangkan rasa dari pernikahan itu sendiri.
Meski yes, gue bukan anti terhadap divorce, ada batas kesabaran manusia dimana demi kebaikan bersama divorce adalah solusi. Jika memang ada KDRT, Perselingkuhan, atau hal simple tapi mendasar pasangan sudah tidak ada rasa dan tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Broke up adalah jalan terakhir.
Karena toh banyak orang diluar sana yang hubungannya menjadi lebih baik ketika mereka tidak ada dalam ikatan.
so cheers for new wife!
welcome to the Jungle of Expectation
xoxo,
nitahakem
0 komentar:
Post a Comment